السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

,,,"Salam Sukses",,,

Jumat, 22 April 2011

Do'a dan Air Mata

Kisah ini diambil dari kisah nyata perjalanan hidup seorang anak manusia dalam kegigihannya untuk merubah nasib hidup keluarganya. Kisah ini mungkin sebagian kecil dari kisah-kisah yang ada disekitar kita. Anak manusia ini adalah seorang anak laki-laki yang hidup didalam keluarga yang sangat sederhana. Keluarga sederhana yang hidup jauh dari keramaian kota. Ayahnya hanya tamatan SD yang bermata pencaharian sebagai seorang petani padi, itupun tadah hujan. Dan ibunya hanya seorang ibu rumah tangga yang pendidikannya hanya sampai pada kelas 3 SD. Awal cerita ini dimulai 8 tahun yang silam.

Delapan tahun yang silam, tepatnya pada bulan juni tahun 2003, ia menyelesaikan pendidikannya ditingkat sekolah menengah pertama (SMP). Ketika itu, sebenarnya ia ingin sekali melanjutkan ketingkat yang berikutnya, namun apalah daya karena memang ekonomi keluarganya yang tak mencukupi, akhirnya ia pun belum bisa melanjutkan pendidikannya. Namun, walaupun demikian didalam hatinya ia bertekad"selama Tuhan masih memberikannya kesempatan hidup, maka ia akan terus berusaha agar bisa melanjutkan pendidikannya, walaupun ia harus menundanya dulu untuk beberapa waktu demi mengumpulkan dana".

Dalam perjalanannya selama ia mengumpulkan dana, berbagai macam cobaan dan rintangan ia alami, namun hal itu sedikitpun tak membuatnya patah semangat. Walaupun terkadang ia juga mengeluh dan sedih, tak jarang ia menetes air mata ketika melihat teman-temannya asyik belajar didalam kelas, namun lagi-lagi apalah daya, memang realita hidup yang harus ia jalani adalah seperti itu.

Waktu demi waktu telah ia lalui, tak terasa tahun barupun akan tiba dan tahun 2003 akan segera berlalu. Ketika tahun 2004 tiba ia berencana akan merantau ke ibu kota Jakarta. Ia bicarakan rencananya itu dengan kedua orang tuanya, terasa berat memang bagi kedua orang tuanya, namun orang tuanya tak bisa untuk melarangnya karena tekadnya yang sudah sangat kuat. Setelah itu mulailah ia mempersiapkan segala sesuatunya. Beberapa hari kemudian tibalah ia untuk berangkat, meninggalkan tanah kelahirannya. Tepatnya hari itu adalah hari kamis 15 Januari 2004.

Ia pamit dengan orang tuanya, ia peluk mereka, dalam pelukan itu terngiang suara "nak jangan pernah lupa dengan tuhan, hanya itu pesan kami" ia hanya diam mendengar ucapan itu. Setelah itu mulailah ia langkahkan kaki, dan ketika itu juga ia melihat air mata ibunya yang suci menetes membasahi pipinya. Ia tatap ibunya sambil tersenyum dan dalam hatinya berkata "bu, aku pergi untuk mengejar impianku, ridhoilah aku bu". Dengan ayunan kaki dan lambaian tangan yang pasti ia terus bejalan hingga sampailah ia pada kendaraan yang akan ia tumpangi. Dan beberapa menit kemudian sudah tak terlihat lagi ayah dan ibunya, karena kendaraan itu begitu cepat melaju.

Berangkatlah ia kejakarta dengan bermodalkan tekad dan niat yang tulus, ia beranikan diri walaupun ketika itu usianya baru habis 15 th. Dalam perjalanannya tak seorang pun yang ia kenal, ia hanya bisa diam membisu. Pulau demi pulau telah ia lewati, tak terasa sudah sampai diterminal pasar rebo Jakarta. Dengan hanya mengandalkan ciri-ciri fisik orang yang akan menjemputnya ia cari, akhirrnya ketemu, setelah itu berangkatlah ia menuju rumah yang menjadi tujuannya yaitu di jaktim. Setibanya disana, ia disambut baik oleh penghuni rumah itu, yang akan menjadi majikanny.

Malam pun tiba, ia disuruh istirahat, untuk sementara tempat istiirahatnya mushollah kecil yang ada dalam rumah itu. Singkat cerita 3 bulan ia tinggal dirumah itu dan menjadi pembantu rumah tangga, mengerjakan semua pekerjaan rumah. Setelah tiga bulan itu, ia pun pindah kerja disebuah rumah makan dan ia juga tinggal disana, dirumah makan itu ia bekerja sebagai pembantu umum yang mengerjkan semuanya, mulai dari waitress sampai kepada keamanan.

Hari demi hari ia lalui, tak terasa sudah 2 bulan ia disana, dan tibalah tahun ajaran baru. Ia mulai menghitung uang yang telah ia kumpulkan selama ini, dan ia merasa uang yang telah terkumpul sudah cukup untuk mendaftar sekolah. Namun, lagi-lagi Tuhan mengujinya, ia dapat kabar dari kampungnya kalau adiknya sedang sakit dan masuk rumah sakit, karena itu uang yang ada itu ia kirimkan kekampung. Yang tersisa hanya gaji untuk bulan itu saja. Ketika itu ia tak dapat menahan sedih, ia mengaduh kepada Tuhan, dan ia tak dapat menahan air matanya hingga menetes membasahi pipinya. Namun, walaupun demikian ia tak patah semangat, ia masih memberanikan diri untuk mendaftar sekolah.

Hari itu pergilah ia ke suatu sekolah negeri yang ada di jaktim, ia pun mendaftar. Setelah itu mengikuti ujian baik ujian lisan maupun tertulis, dengan keyakinan yang kuat ia ikuti ujian itu soal demi soal, dan akhirnya selesai, ia pun pulang. Menunggu hasil dari ujian itu, ia terus berdo'a kepada Tuhan agar nialainya bagus dan ia bisa diterima. Beberapa hari telah ia lewati, tibalah hari pengumuman dari hasil ujian itu, ia pun kembali pergi kesekolah itu untuk melihat hasilnya. Setelah tiba disana mulailah ia mencari namanya dari ribuan nama yang tercantum di papan pengumuman itu, dan di luar dugaannya ternyata namanya ada dan ia diterima.

Setelah itu, tibalah waktunya untuk registrasi ulang, dan diluar dugaannya ternyata biaya administrasi yang harus ia lunasi sangatlah mahal, dan uangnya tak cukup karena telah dikirimkannya kekampung untuk membantu uang berobat adiknya. Muncul lagi kebingungan dalam hatinya, tak ada yang dapat ia lakukan kecuali merenung dan mengaduh kepada Tuhan, lagi-lagi ia tak kuasa membendung air matanya, meratapi nasib hidupnya. Semalam suntuk ia menangis, dan benar-benar bingung karena harus berjuang sendiri. Hingga dapatlah suatu ide untuk memohon keringanan dari kepala sekolah.

Keesokan harinya ia temui kepala sekolah itu, memohon agar ia diberi keringanan, lagi-lagi ia tak dapat menahan air matanya, ia merintih, mengeluh dan mengemis kepada kepala sekolah itu, dan akhirnya ia diberikan keringanan dengan mencicil uang administrasi itu. Masa sulit itupun terlewati, namun penderitaannya belum juga berakhir, karena gajinya waktu itu tidak mecukupi untuk biaya hidup dan sekolahnya, apalagi ketika ia sudah tidak lagi bekerja dirumah makan, melainkan dipercetakan. Ia tidak hanya harus memikul beban biaya sekolah tetapi juga biaya makannya. Ketika itu gajinya hanya 75 ribu perminggu, sedangkan SPPnya waktu itu 95 ribu dan transportasinya 4 ribu perhari, belum lagi cicilan uang pendaftarannya. Oleh, tak jarang ia harus mengikat pinggang dengan makan hanya satu kali sehari semalam itu seadanya, dan kadang ia harus sekolah berjalan kaki dengan jarak kurang lebih 4 km atau sekitar satu jam setengah perjalanan.

Selama ia sekolah juga terkadang ia merasa minder sama teman-temannya karena ia tidak memiliki fasilitas-fasilitas dari sekolah karena uang pendaftarannya yang belum lunas. Ketika disana ia merasakan kesedihan yang mendalam, betapa tidak, disana ia hidup sebatang kara, tak ada sanak keluarga. Namun, walaupun demikian ia tetap bertahan, dan selalu optimis kalau ia pasti bisa melewati masa-masa sulit itu. Hari harinya ia lewati dengan penuh kesabaran dan ketegaran hingga tibalah bulan suci romadon. Ketika malam penyambutan bulan suci itu, ia teringat akan suasana bersama keluarga, lagi-lagi ia sedih karena kerinduannya yang sangat mendalam, dan kembali ia meneteskan air matanya ingat akan kehangatan keluarga. Malam itupun terlewati, hari-harinya pun berjalan seperti biasa, dan tak terasa lebaran pun tiba, ketika itu ia kembali merasakan kerinduan yang sangat mendalam, apalagi ketika hari lebarannya, hari yang biasanya ia bersama keluarga, bercanda gurau, namun hari itu ia merasa sangat kesepian, ia merasa seperti anak yatim piatu. Tak ada yang dapat ia lakukan kecuali menangis dan menangis. Hingga seharian ia lewati hari lebaran itu dengan meneteskan air mata, sejak pulang dari sholat idd sampai maghrib tiba.

Tak terasa, kini telah kenaikan kelas, ia pun naik kelas dengan nilai yang sangat memuaskan untuk seorang anak kampung seperti dia. Ketika kenaikan kelas itu, ia memutuskan untuk pindah sekolah ke Palembang, mendekati sanak keluarga,dengan harapan akan lebih baik, ia merasa sudah tidak tahan lagi hidup di ibu kota jakarta, dan menanggung beban hidup sendirian......BERSAMBUNG!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar